Selasa, 03 Januari 2012

Mitos Larangan di Desa Adat Dalung

“Ratu Gede dan Ratu Ayu”
Benteng Niskala Dalung
Pada zaman dahulu kala, sekitar abad ± 600 tahun SM  terjadi suatu peristiwa yang sangat aneh di kalangan petani Desa Adat Dalung. Para petani biasanya mengadakan kegiatan rutin dilakukan oleh para petani, yaitu mereka selalu mengadakan sistem penjagaan air di malam hari. Suatu saat ada dua petani yang sedang menjaga air di aungan Abian Base. Terjadi suatu keanehan disana, air di dalam aungan (selokan besar untuk irigasi perairan di sawah) di wilayah Abian Base tepatnya di banjar Dalang mengalami suatu kejadian aneh. Bendungan “Munungan” nama tempat tersebut. Bendungan ini merupakan satu-satunya jalur pengairan yang mengalir ke Desa Adat Dalung.  
Keanehan yang terjadi di aungan banjar Dalang memang sangat meresahkan petani Desa Adat Dalung. Ada sebatang kayu kecil kira-kira berukuran sebesar pensil menyumbat aungan banjar Dalang. Anehnya, batang kayu kecil itu mampu menghentikan jalur air ke daerah Desa Adat Dalung. Petani yang mendapat giliran jaga malam saat itu kontan secara langsung mengambil kayu dan membuangnya. Selang 3 jam, air kembali tak mengalir. Petani yang bertugas kembali memeriksa keadaan aungan. Betapa terkejutnya petani melihat kembali sebatang kayu kecil menghentikan jalur air ke daerah Dalung. Hal ini terulang sampai 3 kali, karena merasakan sesuatu kejanggalan maka petani yang bertugas menjaga air malam itu mengambil kayu dan membawanya pulang. Kebetulan saat itu petani dari banjar Cepaka Desa Adat Dalung yang mendapat jaga malam. Kedua petani tersebut membawa sebatang kayu kecil tersebut ke sebuah pura pengairan yang ada di Desa Adat Dalung, tepatnya di Pura Dalem Pangi.
Seorang Pemangku (orang pandai di dalam bidang keagamaan) yang mekemit di Pura Dalem Pangi mengatakan bahwa kayu yang ditemukan oleh kedua petani tersebut merupakan kayu dari pohon “Pole”. Batang kayu tersebut harus dihormati dan disembah dengan cara merubahnya menjadi sebuah perwujudan dalam bentuk sebuah tapel (topeng yang menyerupai wajah Dewa/Dewi).  
Beberapa hari kemudian, diadakan sangkep banjar (rapat masyarakat desa) guna membahas temuan yang terjadi di bendungan Munungan. Kayu Pole tersebut dibawa ke Gianyar untuk digarap menjadi sebuah tapel. Tapel tersebut terbuat dari 4 batang kayu Pole yang disatukan, sedangkan untuk badannya digunakan anyaman dari Tiing Tali (bambu untuk membuat anyaman). Terbentukalah 2 buah Barong Landung yang diberi nama “Ratu Gede dan Ratu Ayu”. Barong Landung yang laki-laki bernama Ratu Gede dan yang perempuan bernama Ratu Ayu. Ratu Gede memilik postur tubuh yang gagah, besar, tinggi dan menyeramkan. Ratu Ayu memiliki postur tubuh yang cantik, kulit kuning langsat, mata sipit dan memiliki jantuk. Hal ini diakibatkan masuknya budaya China yaitu Barong Landung dari China.
Setelah Barong Landung selesai digarap, masyarakat Desa Adat Dalung (penyungsung Pura Dalem Pangi) melaksanakan upacara Pasupati. Prosesi upacara dimulai dari meletakkan Cadu Manik ( Pundi Manik) yang terbuat dari mirah di dahi kedua Barong Landung, dilakukan pula upacara Memakuh, Ngulapambe, Melaspas dengan upacara yang sesuai dengan daerah setempat. Untuk menambah rasa yakin percaya, maka penyungsung melaksanakan upacara Ngerehang di suatu tempat yang dianggap sakral dan keramat. Tempat yang dipilih oleh penyungsung adalah Setra Desa Adat Dalung. Disanalah benar-benar terasa antara penyungsung, Barong Landung dan kekuatan magis religius menyatu. Oleh karena itu, Barong Landung distanakan di Pura Dalem Pangi.
Setiap hari raya antara Hari Raya Galungan dan Hari Raya Kuningan Beliau (Ratu Gede dan Ratu Ayu) seharusnya melaksanakan upacara “Ngelawang”. Khusus untuk hari raya Kuningan, Ratu Gede dan Ratu Ayu dilaksanakan upacara Pecaruan Eka Sata lengkap dengan reruntutanya yang bertujuan untuk menjaga Dalung tetap aman dan nyaman di dalam kehidupan sekala maupun niskala. Jika prosesi ini tidak dilakukan oleh penyungsung maka akan terjadi “grubug” (marabahaya) di sawah. Namun, dari awal adanya Ratu Gede dan Ratu Ayu ini tidak pernah penyungsung melupakan prosesi ngelawang Tanggun Desa (menari di sudut-sudut desa Dalung), karena setiap Hari Raya Kuningan seorang Patih penyungsung akan Kerauhan dan menari di Pura Dalem Pangi.
Hebatnya lagi, dari awal hingga saat ini tapel Ratu Gede dan Ratu Ayu belum pernah diganti dan tidak pernah dimakan rayap. Hanya saja rambut Ratu Gede pernah diganti pada tahun 2002. Pada awalnya rambut Ratu Gede terbuat dari rambut kuda, saat direnovasi tahun 2002 mendapatkan pawesik dari Cokorda Wisa untuk menggunakan rambut Krama Desa Adat Dalung. Bendesa Adat Dalung akhirnya mengumpulkan PKK(Persatuan Kesejahteraan Keluarga) banjar Cepaka untuk meminta rambut dari mereka. Alhasil terkumpullah rambut Krama Adat Dalung yang hingga saat ini masih menjadi rambut dari Ratu Gede.
Sesuatu yang sangat menakjubkan bahwa Ratu Gede dan Ratu Ayu menjadi benteng niskala Desa Adat Dalung. Percaya atau tidak hal itulah yang menjadi kepercayaan masyarakat Dalung. Kepercayaan itu dianut mulai dari ±600 tahun SM hingga saat ini.
(Si Luh Putu Nita Utami/0912011005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar