Minggu, 22 Januari 2012


 Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar
Perkembangan seorang anak merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks, artinya banyak faktor yang turut berpengaruh dan saling terjalin dalam berlangsungnya proses perkembangan anak. Hal tersebut terlihat baik dari unsur bawaan maupun unsur pengalaman yang diperoleh dalam berinteraksi dengan lingkungan sama-sama memberikan kontribusi tertentu terhadap arah dan laju perkembangan anak tersebut.
Seorang peserta didik yang sedang menuntut ilmu di sebuah Sekolah Dasar di Desa Dalung memiliki suatu tekad yang kuat untuk mencapai sebuah prestasi, hal ini ditunjukkan dengan cara melakukan berbagai kegiatan les dan belajar secara rutin. Anak yang berjenis kelamin perempuan itu bernama Si Luh Putu Ayun Indah Purnama. Gek Ayun sapaan akrab yang biasanya ditujukan olehnya. Anak perempuan ini sekarang duduk di bangku sekolah dasar kelas VI. Prestasi belajar yang didapatkan olehnya memberikan ia mendapat julukan sebagai bintang kelas, memang dia tidak selalu mendapatkan peringkat I, II ataupun III. Perjalanan prestasi belajarnya memang mengalami proses pasang surut. Sesungguhnya, untuk mendapatkan suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, karena memerlukan perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
Penilaian terhadap hasil belajar peserta didik untuk mengetahui sejauhmana ia telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh peserta didik menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh peserta didik terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas yang diberikan oleh pendidik. Melalui prestasi belajar peserta didik dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.
Menurut Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996: 206) yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh seorang peserta didik pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Dari beberapa definisi di atas, mendapatkan sebuah simpulan bahwa prestasi belajar merupakan hasil usaha belajar yang dicapai seorang peserta didik berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam buku laporan yang disebut rapor.
Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit peserta didik yang mengalami kegagalan. Kadangkala ada peserta didik yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya. Peserta didik yang diteliti sempat mengalami kegagalan yang sempat membuatnya putus asa, ialah saat ia baru duduk dibangku SD kelas III, saat ia kelas II semester II ia memperoleh rangking II, namun pada saat kelas III semester I, ia memperoleh rangking IX. Ini merupakan penurunan prestasi belajar yang sangat drastis dan membuatnya sempat putus asa.
Andersen (1981) berpendapat bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan. Dari uraian-uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa suatu proses belajar mengajar pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam arti bahwa perubahan kemampuan merupakan indikator untuk mengetahui hasil prestasi belajar peserta didik. Hasil prestasi belajar peserta didik pada umumnya diukur dengan menggunakan tes hasil belajar.
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Beberapa perasaan yang sering dialami oleh peserta didik yang diteliti, misalnya saja perasaan senang akan menerima pelajaran Bahasa Indonesia dan pelajaran Pendidikan Agama Hindu dan merasakan malas saat akan menerima pelajaran Matematika. Pada umumnya kebayakan peserta didik kurang menyukai pelajaran Matematika, hal ini disebabkan dapat saja karena pendidik yang terkenal otoriter saat mengajar atau mungkin karena pelajaran Matematika cenderung berhubungan dengan angka dan hitung-hitungan. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.
Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Perkembangan psikomotor yang dimaksudkan dalam penilaian di rapor adalah dalam pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Peserta didik yang diteliti memiliki perkembangan yang tidak begitu baik. Hal ini terlihat dalam hasil tes yang didapatkan oleh peserta didik, rata-rata nilai yang diperoleh hanya bertengger di angka 70,00 hingga 73,00. Menurut tuturan dari peserta didik, yang menyebabkan nilai yang diterimanya hanyalah bertengger di 70,00 adalah ia malas untuk mengikuti kegiatan olahraga. Hanya olahraga bola voli yang sangat disukai oleh peserta didik. Memang ada perkembangan yang ditunjukkan oleh peserta didik namun hasilnya belum maksimal seperti yang dicapai oleh rekan-rekannya.
Pengertian kognitif meliputi aspek struktur intelek yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu, dan dalamnya terdapat aspek: persepsi, ingatan, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan persoalan. Perkembangan kognitif merupakan proses dan hasil individu dengan lingkungannya. Selain itu, struktur pengetahuan juga menjelaskan tentang tingkat kecerdasan peserta didik pada usia SD. Dengan adanya beberapa kecerdasan tiap individu, maka memungkinkan terjadinya kecerdasan ganda (multiple intelligence), sehingga perlu diadakannya semacam tes untuk mengetahui tingkat intelegensi tiap individu yang biasa disebut dengan IQ (Intelligence Quotient).
Perkembangan kognitif yang ditunjukkan oleh peserta didik yang peneliti teliti ialah pada tahap ini anak sudah mampu berfikir konkret dalam memahami sesuatu sebagaimana kenyataannya, mampu mengkonservasi angka, serta memahami konsep melalui pengalaman sendiri dan lebih objektif. Hal ini ditunjukkan pada perkembangan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam. Peserta didik mengalami peningkatan yang ditunjukkan dari perolehan hasil tes yang dilakukan pendidik. Hal ini terbukti bahwa untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam mendapatkan nilai 83,00. Awalnya saat masih duduk di kelas I, peserta didik hanya mendapatkan nilai 73,00 namun sering waktu nilai yang diperoleh menunjukkan perkembangan yang sangat maksimal.
Selain itu, pada fase kognitif ini, peserta didik sudah dapat berfikir abstrak, hipotesis dan sistematis mengenai sesuatu yang abstrak dan memikirkan hal-hal yang akan dan mungkin terjadi. Jadi, pada tahap ini anak sudah mampu meninjau masalah dari berbagai sudut pandang dan mempertimbangkan alternatif dalam memecahkan masalah, bernalar berdasarkan hipotesis, menggabungkan sejumlah informasi secara sistematis, menggunakan rasio dan logika dalam abstraksi, memahami, dan membuat perkiraan di masa depan. Dengan mengetahui tahap perkembangan kognitif tersebut, diharapkan orang tua dan pendidik dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan intelektual anak dengan tepat sesuai dengan usia perkembangan kognitifnya.
Bahasa merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan, pendapat, perasaan dengan menggunakan simbol-simbol yang disepakati bersama, kemudian kata dirangkai berdasarkan urutan membentuk kalimat yang bermakna dan mengikuti aturan atau tata bahasa yang berlaku dalam suatu komunitas atau masyarakat, bahasa dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahasa lisan, bahasa tulis, dan bahasa isyarat. Keterampilan dalam berbahasa yang diajarkan dalam bangku sekolah memiliki 4 aspek atau ruang lingkup, yaitu: Keterampilan mendengarkan, Keterampilan berbicara, Keterampilan membaca, dan Keterampilan menulis.
Di bangku sekolah dasar, keterampilan mendengarkan meliputi kemampuan memahami bunyi bahasa, perintah, dongeng, drama, petunjuk, denah, pengumuman, beruta, dan konsep materi pelajaran. Keterampilan berbicara meliputi kemampuan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan mengenai perkenalan, tegur sapa,pengenalan benda, fungsi anggota tubuh, kegiatan bertanya, percakapan, berita, deklamasi, memberi tanggapan, pendapat/saran, dan diskusi. Keterampilan membaca meliputi ketrampilan memahami teks bacaan melalui membaca intensif dan sekilas. Keterampilan menulis meliputi kemampuan menulis permulaan, dikte, mendeskripsikan benda, mengarang, menulis surat, undangan, dan ringkasan paragraf.
Dengan demikian, dengan adanya ranah afektif, psikomotorik dan kognitif akan mengakibatkan kemampuan yang dimiliki setiap orang itu berbeda. Dalam perbedaan itu, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap orang memiliki kelebihan pada bidang yang menjadi kemampuannya dan memiliki kekurangan pada kemampuan yang dimiliki orang lain sebagai bidangnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua manusia memiliki kemampuan, hanya saja bagaimana setiap orang mengenal kemampuan yang dimilikinya serta bagaimana mengembangkan kemapuannya itu.
Berikut dilampirkan diagram perkembangan afektif, psikomotorik dan kognitif yang ditunjukkan oleh peserta didik yang diteliti (Si Luh Putu Ayun Indah Purnama)

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar
Perkembangan seorang anak merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks, artinya banyak faktor yang turut berpengaruh dan saling terjalin dalam berlangsungnya proses perkembangan anak. Hal tersebut terlihat baik dari unsur bawaan maupun unsur pengalaman yang diperoleh dalam berinteraksi dengan lingkungan sama-sama memberikan kontribusi tertentu terhadap arah dan laju perkembangan anak tersebut.
Seorang peserta didik yang sedang menuntut ilmu di sebuah Sekolah Dasar di Desa Dalung memiliki suatu tekad yang kuat untuk mencapai sebuah prestasi, hal ini ditunjukkan dengan cara melakukan berbagai kegiatan les dan belajar secara rutin. Anak yang berjenis kelamin perempuan itu bernama Si Luh Putu Ayun Indah Purnama. Gek Ayun sapaan akrab yang biasanya ditujukan olehnya. Anak perempuan ini sekarang duduk di bangku sekolah dasar kelas VI. Prestasi belajar yang didapatkan olehnya memberikan ia mendapat julukan sebagai bintang kelas, memang dia tidak selalu mendapatkan peringkat I, II ataupun III. Perjalanan prestasi belajarnya memang mengalami proses pasang surut. Sesungguhnya, untuk mendapatkan suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, karena memerlukan perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
Penilaian terhadap hasil belajar peserta didik untuk mengetahui sejauhmana ia telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh peserta didik menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh peserta didik terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas yang diberikan oleh pendidik. Melalui prestasi belajar peserta didik dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.
Menurut Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996: 206) yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh seorang peserta didik pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Dari beberapa definisi di atas, mendapatkan sebuah simpulan bahwa prestasi belajar merupakan hasil usaha belajar yang dicapai seorang peserta didik berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam buku laporan yang disebut rapor.
Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit peserta didik yang mengalami kegagalan. Kadangkala ada peserta didik yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya. Peserta didik yang diteliti sempat mengalami kegagalan yang sempat membuatnya putus asa, ialah saat ia baru duduk dibangku SD kelas III, saat ia kelas II semester II ia memperoleh rangking II, namun pada saat kelas III semester I, ia memperoleh rangking IX. Ini merupakan penurunan prestasi belajar yang sangat drastis dan membuatnya sempat putus asa.
Andersen (1981) berpendapat bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan. Dari uraian-uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa suatu proses belajar mengajar pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam arti bahwa perubahan kemampuan merupakan indikator untuk mengetahui hasil prestasi belajar peserta didik. Hasil prestasi belajar peserta didik pada umumnya diukur dengan menggunakan tes hasil belajar.
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Beberapa perasaan yang sering dialami oleh peserta didik yang diteliti, misalnya saja perasaan senang akan menerima pelajaran Bahasa Indonesia dan pelajaran Pendidikan Agama Hindu dan merasakan malas saat akan menerima pelajaran Matematika. Pada umumnya kebayakan peserta didik kurang menyukai pelajaran Matematika, hal ini disebabkan dapat saja karena pendidik yang terkenal otoriter saat mengajar atau mungkin karena pelajaran Matematika cenderung berhubungan dengan angka dan hitung-hitungan. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.
Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Perkembangan psikomotor yang dimaksudkan dalam penilaian di rapor adalah dalam pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Peserta didik yang diteliti memiliki perkembangan yang tidak begitu baik. Hal ini terlihat dalam hasil tes yang didapatkan oleh peserta didik, rata-rata nilai yang diperoleh hanya bertengger di angka 70,00 hingga 73,00. Menurut tuturan dari peserta didik, yang menyebabkan nilai yang diterimanya hanyalah bertengger di 70,00 adalah ia malas untuk mengikuti kegiatan olahraga. Hanya olahraga bola voli yang sangat disukai oleh peserta didik. Memang ada perkembangan yang ditunjukkan oleh peserta didik namun hasilnya belum maksimal seperti yang dicapai oleh rekan-rekannya.
Pengertian kognitif meliputi aspek struktur intelek yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu, dan dalamnya terdapat aspek: persepsi, ingatan, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan persoalan. Perkembangan kognitif merupakan proses dan hasil individu dengan lingkungannya. Selain itu, struktur pengetahuan juga menjelaskan tentang tingkat kecerdasan peserta didik pada usia SD. Dengan adanya beberapa kecerdasan tiap individu, maka memungkinkan terjadinya kecerdasan ganda (multiple intelligence), sehingga perlu diadakannya semacam tes untuk mengetahui tingkat intelegensi tiap individu yang biasa disebut dengan IQ (Intelligence Quotient).
Perkembangan kognitif yang ditunjukkan oleh peserta didik yang peneliti teliti ialah pada tahap ini anak sudah mampu berfikir konkret dalam memahami sesuatu sebagaimana kenyataannya, mampu mengkonservasi angka, serta memahami konsep melalui pengalaman sendiri dan lebih objektif. Hal ini ditunjukkan pada perkembangan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam. Peserta didik mengalami peningkatan yang ditunjukkan dari perolehan hasil tes yang dilakukan pendidik. Hal ini terbukti bahwa untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam mendapatkan nilai 83,00. Awalnya saat masih duduk di kelas I, peserta didik hanya mendapatkan nilai 73,00 namun sering waktu nilai yang diperoleh menunjukkan perkembangan yang sangat maksimal.
Selain itu, pada fase kognitif ini, peserta didik sudah dapat berfikir abstrak, hipotesis dan sistematis mengenai sesuatu yang abstrak dan memikirkan hal-hal yang akan dan mungkin terjadi. Jadi, pada tahap ini anak sudah mampu meninjau masalah dari berbagai sudut pandang dan mempertimbangkan alternatif dalam memecahkan masalah, bernalar berdasarkan hipotesis, menggabungkan sejumlah informasi secara sistematis, menggunakan rasio dan logika dalam abstraksi, memahami, dan membuat perkiraan di masa depan. Dengan mengetahui tahap perkembangan kognitif tersebut, diharapkan orang tua dan pendidik dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan intelektual anak dengan tepat sesuai dengan usia perkembangan kognitifnya.
Bahasa merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan, pendapat, perasaan dengan menggunakan simbol-simbol yang disepakati bersama, kemudian kata dirangkai berdasarkan urutan membentuk kalimat yang bermakna dan mengikuti aturan atau tata bahasa yang berlaku dalam suatu komunitas atau masyarakat, bahasa dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahasa lisan, bahasa tulis, dan bahasa isyarat. Keterampilan dalam berbahasa yang diajarkan dalam bangku sekolah memiliki 4 aspek atau ruang lingkup, yaitu: Keterampilan mendengarkan, Keterampilan berbicara, Keterampilan membaca, dan Keterampilan menulis.
Di bangku sekolah dasar, keterampilan mendengarkan meliputi kemampuan memahami bunyi bahasa, perintah, dongeng, drama, petunjuk, denah, pengumuman, beruta, dan konsep materi pelajaran. Keterampilan berbicara meliputi kemampuan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan mengenai perkenalan, tegur sapa,pengenalan benda, fungsi anggota tubuh, kegiatan bertanya, percakapan, berita, deklamasi, memberi tanggapan, pendapat/saran, dan diskusi. Keterampilan membaca meliputi ketrampilan memahami teks bacaan melalui membaca intensif dan sekilas. Keterampilan menulis meliputi kemampuan menulis permulaan, dikte, mendeskripsikan benda, mengarang, menulis surat, undangan, dan ringkasan paragraf.
Dengan demikian, dengan adanya ranah afektif, psikomotorik dan kognitif akan mengakibatkan kemampuan yang dimiliki setiap orang itu berbeda. Dalam perbedaan itu, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap orang memiliki kelebihan pada bidang yang menjadi kemampuannya dan memiliki kekurangan pada kemampuan yang dimiliki orang lain sebagai bidangnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua manusia memiliki kemampuan, hanya saja bagaimana setiap orang mengenal kemampuan yang dimilikinya serta bagaimana mengembangkan kemapuannya itu.
Berikut dilampirkan diagram perkembangan afektif, psikomotorik dan kognitif yang ditunjukkan oleh peserta didik yang diteliti (Si Luh Putu Ayun Indah Purnama)

Sabtu, 07 Januari 2012

evaluasi



CIRI-CIRI TES YANG BAIK

Tes yang baik adalah tes yang dapat mengukur hasil belajar siswa dengan tepat. Untuk dapat menghasilkan tes yang seperti itu maka tes tersebut harus dibuat melalui perencanaan yang baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat perencanaan tes yang baik adalah ( http://pustaka.ut.ac.id/learning.php):
  1. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin diukur.
  2. Pilih pokok bahasan dan sub-pokok bahasan yang relevan untuk mencapai tujuan tersebut.
  3. Tentukan proses berpikir yang ingin diukur.
  4. Tentukan jenis tes yang tepat digunakan untuk mengukur tujuan pembelajaran tersebut.
  5. Tentukan tingkat kesukaran butir soal yang akan dibuat.
            Selain itu, menurut para pakar sebuah tes dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi kriteria yaitu: memiliki Validitas, Reliabilitas, Praktikabilitas dan Objektivitas, Ekonomis. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1)      Validitas
            Sebelum menuju kepenjelasan mengenai validitas, terlebih ada baiknya terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara ”Validitas” dan ”Valid”. ”Validitas” merupakan sebuah kata benda, sedangkan ”Valid” merupakan kata sifat. Sebuah data atau informasi dapat dikatakan valid apabila sesuai dengan keadaan senyatanya. Jika data yang dihasikan dari sebuah instrumen tersebut valid, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut valid, karena dapat memberikan gambaran tentang data secara benar sesuai dengan kenyataan. (Arikunto, 2009: Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, halaman 58).
            Validitas merupakan ciri yang amat penting, yang seharusnya dimiliki oleh setiap tes yang digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk tujuan pengajaran bahasa. Secara konvensional, validitas diartikan sebagai ciri yang menunjukkan adanya kesesuaian antara tes dengan apa yang ingin diukur dengan menggunakan tes itu. (Djiwandono, 1996: Tes Bahasa dalam Pengajaran, halaman 91).
            Secara konvensional, Crocker dan Algina (1986) membedakan validitas menjadi tiga, yaitu:
a.      Validitas isi
            Validitas isi menuntut adanya kesesuaian isi antara kemampuan yang ingin diukur dan tes yang digunakan untuk mengukurnya. Kesesuaian itu tercermin pada jenis kemampuan yang dituntut untuk mengerjakan tes, dibandingkan dengan jenis kemampuan yang dijadikan sasaran pengukuran. Kesesuaian isi juga menyangkut cakupan bahan tes, yang harus mencerminkan cakupan bahan dari kemampuan yang dijadikan sasaran pokok tes.
b.      Validitas kriteria
            Validitas kriteria mengacu kepada kesesuaian antara hasil suatu tes dengan hasil tes lain yang digunakan sebagai kriteria. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan tingkat kesesuaian itu dapat diambil dari tes sejenis yang diketahui ciri-cirinya sebagai tes yang baik, dan yang diselenggarakan pada saat (hampir) bersamaan. Validitas jenis ini dikenal sebagai validitas kesetaraan waktu. Validitas kriteria dapat pula berupa validitas peramalan. Dalam hal ini kriteria yang digunakan sebagai bahan perbandingan adalah hasil tes sejenis yang baik, yang diselenggarakan setelah suatu waktu tertentu dan tahapan perkembangan kemampuan tertentu.
c.       Validitas konstruk
            Kesesuaian antara hasil tes dengan kemampuan yang ingin diukur dapat pula ditinjau dari konstruk, yaitu konsep atau teori yang mendasari penggunaan suatu jenis kemampuan, termasuk kemampuan berbahasa. Pembuktian keberadaan validitas konstruk sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan konseptual. Tingkat rendahnya kadar validitas konstruk ditentukan oleh tinggi rendahnya koefisien korelasi antara kedua deret skor yang dibandingkan, dengan menempuh prosedur yang pada dasarnya sama dengan prosedur pembuktian keberadaan validitas kriteria.

v  Jenis-jenis validitas
            Suatu tes dapat memiliki validitas yang bertingkat-tingkat: tinggi, sedang, rendah, bergantung pada tujuannya. Sehubungan dengan itu, ada beberapa jenis validitas, yaitu (Purwanto, 2000: Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, halaman 138)
1.      Content validity (curricular validity)
Suatu tes dikatakan memiliki Content validity jika scope dan isi tes sesuai dengan scope dan isi kurikulum yang sudah diajarkan.
2.      Construct validity
Untuk menentukan adanya Construct validity, suatu tes dikorelasikan dengan suatu konsepsi atau teori.
3.      Predictive validity
Suatu tes dikatakan memiliki Predictive validity jika hasil korelasi tes itu dapat meramalkan dengan tepat keberhasilan seseorang pada masa mendatang di dalam lapangan tertentu.
4.      Concurrent validity
Jika hasil suatu tes mempunyai korelasi yang tinggi dengan hasil suatu alat ukur lain terhadap bidang yang sama pada waktu yang sama, maka dikatakan tes itu memiliki Concurrent validity.

v  Cara menghitung validitas suatu tes dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
1.      Dengan product moment correlation  (Metode Pearson):
Rumusnya:

                    


      
2.      Dengan rank methodof correlation (metode Spearman)
Rumusnya:
 




2)      Reliabilitas
            Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa Inggris. Berasal dari kata reliable yang artinya dapat dipercaya. Sebuah tes dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Jika dihubungkan dengan validitas, maka validitas adalah ketepatan sedangkan reliabilitas adalah ketetapan. (Arikunto, 2009: Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, halaman 58).
            Kehandalan atau reliabilitas meliputi ketepatan/kecermatan hasil pengukuran, keajegan/kestabilan dari hasil pengukuran. Kecermatan hasil pengukuran ditentukan oleh banyaknya informasi yang dihasilkan dan sangat berkaitan dengan satuan ukuran dan jarak rentang dari skala yang digunakan. Secara lebih tepat, reliabilitas sebenarnya terkait bukan dengan tesnya sebagai alat ukur, melainkan dengan hasil pengukurannya dalam bentuk skor yang ajeg.
            Tentang syarat kestabilan atau keajegan dari skor suatu tes, ada dua istilah yang perlu dikenal yaitu keajegan internal dan keajegan eksternal. Keajegan internal adalah tingkat sejauh mana sebuah tes itu homogen baik dari segi tingkat kesukaran maupun dari segi bentuk soal dan prosedur menjawabnya. Sedangkan keajegan yang bersifat eksternal, pokok permasalahannya adalah mengenai tingkat sejauh mana skor yang dihasilkan dari penyajian sebuah tes kepada sekelompok orang akan tetap sama sepanjang kemampuan orang-orang yang akan diukur tersebut masih belum berubah. Surapranata, 2005: Panduan Penulisan Tes Tertulis, halaman 27-28)
            Sebagai ciri yang pembuktiannya hanya dapat dilakukan secara empirik dengan perhitungan statistik, tingkat reliabilitas dapat diketahui dengan menerapkan berbagai metode perhitungan. Beberapa metode perhitungan tingkat reliabilitas yang biasa digunakan yaitu (Djiwandono, 1996: Tes Bahasa dalam Pengajaran, halaman 99-103).
a)      Metode tes ulang
Perhitungan tingkat reliabilitas dengan metode tes ulang mempersyaratkan pengguna tes yang sama dua kali, pada sejumlah peserta tes yang sama. Metode tes ulang ini dilakukan dengan memperkecil pengaruh faktor ingatan maupun faktor perkembangan kemampuan. Keduanya itu cenderung mengaburkan koefisien realibilitas yang diperoleh dari perbandingan skor-skor yang dihasilkan.
b)      Metode tes setara
Untuk menerapkan metode ini perlu dikembangkan dua buah tes yang setara, yang mampu menghasilkan skor yang sama atau setara pula bagi kelompok peserta tes yang sama, tanpa mengulang penggunaan tes yang sama.
c)      Metode belah dua
Pada penerapan metode belah dua, tes yang tingkat reliabilitasnya perlu dikaji cukup digunakan sekali terhadap sekelompok peserta tes. Koefisien relialibitas suatu tes diperoleh melalui metode ini dengan mengkorelasikan skor peserta yang dihasilkan dari pengerjaan butir tes nomor genap, dengan skor peserta yang dihasilkan dari pengerjaan butir tes nomor ganjil.
d)     Rumus Kuder-Richardson atau K-R
Penyelenggaran satu kali tes dalam penghitungan reliabilitas diterapkan pula pada metode Kuder-Richardson (disingkat K-R), khususnya KR-20 dan KR-21, yang banyak digunakan untuk tes buatan guru.
e)      Koefisien alpha
Penerapan metode ini cukup sederhana, dan hanya memerlukan perhitungan varian masing-masing butir soal, atau SD2, dan varian seluruh skor, atau SDx2.
f)       Koefesien antar penilai
Dalam penerapan metode ini, setiap pekerjaan peserta tes dinilai oleh lebih dari seorang penilai, sekurang-kurangnya dua orang. Masing-masing penilai melakukan penilaiannya sendiri secara terpisah, atas dasar kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
g)      Metode perkiraan
Metode perkiraan digunakan dalam perhitungan tingkat reliabilitas, khususnya bagi tes buatan guru. Untuk itu dapat digunakan dua macam tabel, satu untuk tes yang dikategorikan tes yang mudah, dan satu lagi untuk tes yang sulit.

v  Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kehandalan suatu tes, yaitu (Purwanto, 2000: Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, halaman 141)
1)      Luas tidaknya sampling yang diambil.
2)      Perbedaan bakat dan kemampuan murid yang di tes.
3)      Suasana dan kondisi testing.

3)      Praktikabilitas
            Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes itu bersifat praktis, mudah untuk pengadministrasiannya. Tes yang praktis adalah tes yang (Arikunto, 2009: Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, halaman 62):
1).   Mudah dilaksanakannya; misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.
2).   Mudah memeriksanya artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal yang obyektif, pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.
3).   Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/ diawali oleh orang lain.

v  Kriteria untuk mengukur praktis-tidaknya suatu tes dapat dilihat dari (Purwanto, 2000: Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, halaman 141-142)
a.       biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan tes itu,
b.      waktu yang diperlukan untuk menyusun tes itu,
c.       sukar-mudahnya menyusun tes itu,
d.      sukar-mudahnya menilai hasil tes itu,
e.       sulit-tidaknya menginterpretasikan (mengolah) hasil tes itu,
f.       lamanya waktu yang diperlukan untuk melaksanakan tes itu.

4)      Objektivitas
            Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektivitas yang mempengaruhi. Hal ini terutama terjadi pada sistem skoringnya. Apabila dikaitkan dengan reliabilitas maka objektivitas menekankan pada skoring, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes. Adapun dua faktor yang mempengaruhi subjektivitas dari suatu tes yaitu bentuk tes dan penilai. (Arikunto, 2009: Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, halaman 61)
            Selain itu, objektivitas suatu tes ditentukan oleh tingkat kesamaan skor-skor yang diperoleh dengan tes tersebut meskipun hasil tes itu dinilai oleh beberapa orang penilai. Untuk ini diperlukan kunci jawaban tes (sooring key). Kualitas objektivitas dapat dibagi tiga tingkatan yaitu (Purwanto, 2000: Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, halaman 141) :
1.      Objektivitas tinggi ialah jika hasil-hasil tes itu menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi.
2.      Objektivitas sedang ialah seperti tes yang sudah distandardisasi, tetapi pandangan subjektif skor masih mungkin muncul dalam penilaian dan interpretasinya.
3.      Objektivitas fleksibel ialah seperti beberapa jenis tes yang digunakan oleh LBP (Lembaga Bimbingan dan Penyuluhan) untuk keperluan counseling.


5)      Ekonomis
            Yang dimaksud dengan ekonomis disini adalah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos atau biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama. (Arikunto, 2009: Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, halaman 63).



DAFTAR PUSTAKA

Anggota IKAPI. 2001. Penerbit Mandar Mundur
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Djiwandono, Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: Penerbit ITB.
Nasoetion,  Noehi. Suryanto Judu dan Adi. 2000. Hakikat tes, pengukuran dan penilaian. http://pustaka.ut.ac.id/learning.php.
Purwanto, Ngalim. 2000. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Surapranata, Sumarna. 2005. Panduan Penulisan Tes Tertulis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.